PERKEMBANGAN
ILMU QIRA’AT
Oleh
:
ZAINAL
MUSTOPA
Nim
: 1323402047
(Disampaikan
dalam Seminar Kelas Matakuliah Studi Qu’an, Hadits Tarbawi, Program Magister
Pendidkan Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto )
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm
al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang membahas tentang kaedah membaca
al-Qur-an. Ilmu ini disandarkan kepada masing-masing imam periwayat dan
pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Cara
pengambilan ilmu ini adalah secara talaqqi yakni berhadapan langsung antara
guru dan murid dengan memperhatikan bentuk mulut, lidah, dan bibir guru dalam melafazkan
ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, Khalifah Utsmân ketika mengirimkan
mushaf ke beberapa wilayah, disertakan pula seorang qâri’ yang qira’atnya
sesuai dengan mushaf yang dikirimkannya itu. Mereka terdiri dari
sahabat-sahabat yang tahu bagaimana Rasulullah saw. membaca al-Qur’an. Di
antara para sahabat itu ada yang menerima dari Nabi hanya satu bacaan saja, ada
pula yang menerima dua bacaan, tiga bacaan, dan bahkan ada yang menerima lebih
dari itu dan kemudian mereka mengajarkannya kepada orang-orang yang belajar.
Maka wajarlah jika timbul perbedaan qira’at pada generasi tabi’in dan generasi
penerusnya.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in,
muncullah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap
masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu
yang berdiri sendiri, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang
diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut antara lain adalah Nâfi’ bin
‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Katsîr, Hamzah, al-Kisâ’î, dan lain-lain.
Dari masa ke masa, ilmu qira’at semakin maju sejajar
dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang dalam dunia Islam pada saat itu. Ilmu
yang asalnya hanya dipelajari dan diterima dari mulut ke mulut mulai dibukukan
untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang apa yang di maksud dengan Ilmu Qiraat dan bagai mana
perkembangan ilmu Qiraat.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
pembahasan mengenai Qiraat di atas dapat di ambil suatu rumusan masalah sebagai
berikut :
1.
Apa
yang di maksud dengan ilmu Qiraat ?
2.
Bagaimana
perkembangan ilmu Qiraat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu
Qira’at
Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan Ilmu
Qira’at secara umum perlu kiranya penulis memberikan definisi tentang Ilmu
Qira’at. Secara etimologi, lafazh qira’at merupakan
bentuk masdar dari qara’a yang
berarti “bacaan”. Yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan-perbedaan dalam
membaca Al-Qur’an.
Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai
ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan
pengertian qira'at ini. Imam Al-Zarkasyi misalnya,
mengemukakan pengertian qira'at sebagai berikut:
وَالْقِرَاءَاتُ هِيَ اخْتِلَافُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ
فِي كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ
وَغَيْرِهِمَا
Artinya: “Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu
(Al-Qur’an) dalam hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf
tersebut, seperti takhfîf, tatsqîl, dan lain-lain.”
Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkasyi berpendapat
bahwa qira’at sebagai sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf
tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat qira’at. Adapun menurut Al-Dimyathi,
sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hâdî al-Fadli, mengemukakan definisi qira’at
sebagai berikut:
الْقِرَاءَاتُ:
عِلْمٌ يُعْلَمُ مِنْهُ اتِّـفَاقُ النَّاقِـلِيْنَ لِكِتَابِ اللهِ تَعـَالَى
وَاخْتِلَافُ فَـهْمٍ فِى الْحَذْفِ وَالْإِثْـبَاتِ وَالتَّـحْرِيْكِ
وَالتَّـسْكِيْنِ وَالْفَصْلِ وَالْوَصْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ هَيْـئَةِ
النُّـطْقِ وَالْإِبْدَالِ وَغَيْرِهِ مِنْ حَيْثُ السِّمَاعِ
Artinya: “Qira'at yaitu suatu ilmu untuk
mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun
yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, sepertihadzf (membuang
huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn (memberi
tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl
(menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui
indra pendengaran.”
Imam Syihâbuddîn al-Qusthullânî
mengemukakan pendapat yang senada dengan al-Dimyathi sebagai berikut: [1]
“Qira'at
yaitu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira'at
(tentang cara-cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an), seperti yang menyangkut
aspek kebahasaan, i’râb, hadzf, itsbât, fashl, washl,
yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Imam Ibnu al-Jazari. (w.
833 H) memberikan definisi
Ilmu Qira’at dalam kitabnya “Munjid al-Muqri’in” adalah
sebagai berikut :
“Ilmu Qira’at adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui
cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan
bacaan-bacaan tersebut kepada para perawinya.”
Disamping itu, ada ulama yang mengaitkan definisi
qira'at dengan mazhab atau imam qira'at tertentu selaku pakar
qira'at yang bersangkutan dan atau yang mempopulerkannya. Misalnya al-Qaththân merumuskan definisi qira’at sebagai berikut:
الْقِرَاءَاتُ: مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِي الْقُرْآنِ
يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْقُرَّاء مَذْهَبًا يُخَالِفُ غَيْرَهُ.
Artinya: “Qira’at
adalah satu madzhab/cara tertentu dari beberapa madzhab cara
mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam
qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya.”
Sedangkan Muhammad ‘Alî
al-Shâbûni mengemukakan definisi qira'at sebagai berikut:
الْقِرَاءَاتُ:
مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّـطْقِ مِنَ الْقُرْأنِ يَذْهَبُ بِـهِ الْإِمَـامُ
مِنَ الْأَئِـمَّةِ الْقُرَّاءِ مَذْهَبًـا يُخَـالِفُ غَيْرَهُ فِى النُّطْـقِ
بِالْقُرْأنِ الْكَرِيْـمِ وَهِيَ ثَـابِتَـةٌ بِـأَسَانِيْـدِهَا اِلَى رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَـلَّمَ
Artinya: “Qira'at ialah suatu mazhab/cara
tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur’an yang masing-masing imam itu memilih
satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang
bersambung sampai kepada Rasulullah saw.”
Berdasarkan definisi-definisi yang
telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak bahwa qira'at Al-Qur’an
berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui al-simâ’ dan al-naql.
Adapun yang dimaksud dengan al-simâ’ adalah
bahwa qira'at Al-Qur’an itu diperoleh melalui cara langsung mendengar dari
bacaan Nabi saw. sedangkan yang dimaksud dengan al-naql adalah
diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira'at Al-Qur’an itu dibacakan
di hadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya.
Definisi di atas juga memberikan
tekanan pada empat persoalan pokok yaitu:
Pertama :
Ilmu Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara
pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna
yang ada di balik teks-teks Al-Qur’an. Ilmu
Qira’at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat
Al-Qur’an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj
dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idghâm, iqlâb, ikhfâ’, izhhâr dan
lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para
sahabatnya. Hal ini berbeda dengan membaca teks lain
selain Al-Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak mengharuskan
cara-cara seperti melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu Qira’at sangat
terkait dengan tathbîq (praktik)
membaca. Mungkin banyak orang yang mengerti teori Ilmu
Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori
tersebut dengan baik dan benar. Benarlah
apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Jazari dalam “THayyibah al-Nasyr”:
“Hubungan timbal balik
antara seseorang dengan orang dengan ilmu qira’at adalah jika dia terus menerus
menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan bacaan).”
Kedua :
Ilmu Qira’at sangat terkait dengan “Arabisme” .
Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena Al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab,
kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang
digunakan juga berbahasa Arab. Maka cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an
juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan kalimat-kalimat Arab. Bagi
bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al-Qur’an harus menyesuaikan diri
dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu dipadukan
dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang
qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara
tepat, seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah
a’jamiyyah”nya atau aksen‘ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak
orang Arab yang mampu membaca Al-Qur’an dengan aksen/lahjah mereka tapi
bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang diajarkan oleh rasul kepada para
sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyûkh al-Qurrâ’.
Ketiga : Ilmu Qira’at adalah
termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given (sudah
jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar
Ilmu Qira’at) ke
syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi
Muhammad saw. Hal ini berbeda
dengan IlmuTafsir yang tugasnya
menganalisa teks-teks Al-Qur’an dari segi maknanya.
Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk kepada
hadis nabi,
perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir.
Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-Qur’an yang telah disepakati,
walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan walaupun tidak
berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa ditolelir dan bisa
diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama sekali tidak menerima adanya perbedaan
karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa diterima jika betul-betul
berasal dari nabi. Imam al-Syâthibi berkata dalamkitabnya “Hirz al-Amâni” :
“Tidak ada tempat
pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu qira’at. Terimalah
dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at.”
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at,
maka Al-Qur’anmasih tetap dalam orisinilitas dan
kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
Keempat :
Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm Mushhaf Utsmâni karena
setiap bacaan harus selalu mengacu kepada MushhafAl-Qur’an yang telah mendapatkan
persetujuan dan ijma’ para sahabat nabi pada masa
penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin ‘Affân atau mushhaf
yang sesuai dengan rasm Utsmâni.
B. Perkembangan dan
Pembukuan Ilmu Qira’at
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan
pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan
qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunya al-Qur’an. Ada juga
yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah,
dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan
bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang
kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai
di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di
Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek,
hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi
Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai
qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan Fase
pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada
sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka.
Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan
bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima,
menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan
perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan berbagai
macam versi bacaan.
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at Fase
kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in.
Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau Madinah.
Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat
terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri. Ada sahabat yang
pergi ke negeri Basrah seperti Abu Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang ke Kufah seperti
Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’, dan lain sebagainya.
Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai dengan
bacaan yang mereka terima dari Nabi.
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli
Qira’at Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad pertama sampai awal
abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian
lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’
al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H)
yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at.
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu
Qira’at Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam
ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu
sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya
dalam bidang qira’at. Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang
pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli
qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya
yaitu :
1. ‘Abdullah
bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz
wa al-‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah.
Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3. Muqâtil
bin Sulaimân (w. 150 H)
4. Abû
‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5. Hamzah
bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6. Zâidah
bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7. Hârûn
bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8. ‘Abdul
Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9. ‘Alî
bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10. Ya’qûb
bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11. Abû
‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama
yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah
Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli
qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah). Agaknya
penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada
mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at.
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at
Sab’ah Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang dirintis oleh Abû
‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at
tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at
yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua
Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang
mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154
H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156
H) dan ‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di
Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih
qira’at Nâfi’ (w. 199 H).
Di penghujung abad ketiga Hijrah,
barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at
Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at
tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang
ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut.
Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh
imam qira’at saja yang masyhur padahal masih banyak imam-imam qira’at lain yang
kedudukannya setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah
karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka. Ketika semangat dan perhatian
generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada
qira’at yang sesuai dengan khat mushaf yang mudah dihafal dan mudah menurut
bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah
memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas
dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan
untuk diambil serta dikembangkan qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri
dipilihlah seorang imam, tanpa mengabaikan periwayat selain tujuh imam qira’at
tersebut, seperti qira’at Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain.
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah
telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Para ulama yang kontra
mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa qira’at sab’ah adalah sab’atu
ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin
Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh
imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû
‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi dan
lain sebagainya.
Fase keenam: Fase Pengukuhan
Qira’at Sab’ah Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-Sab’ah karya
Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu
qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa
sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan
qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu ulama yang
pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam tujuh
tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu
tercantum dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah
Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At
Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah
penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal
sebagaimana di ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan
bahkan ratusan.
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1.
Qâlûn (w. 220 H) dan
Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2.
Qumbul (w. 291 H) dan
Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3.
Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H),
meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4.
Hisyâm (w. 245 H) dan
Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5.
Syu’bah (w. 193 H) dan
Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim
6.
Khalaf (w. 229 H) dan
Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7.
Abû al-Hârits (w. 240
H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Penyederhanaan
rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu qira’at , apalagi
para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang qira’at
oleh para ulama sezamannya. Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan
imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah
yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan
menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan
“Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan
“Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at
untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih
dari lima puluh kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar imam
al-Syâtibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan
sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu
qira’at.
C.
Terbentuknya
Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan
munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal
inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana
saja yang patut bisa dianggap shahîh.
Rambu-rambu yang dimaksud adalah : pertama :
harus mutawâtir,
masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua :
harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga :
harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Dari sinilah lalu
muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi Ibnu
Mujâhid (w 324 H) untuk menyederhanakan bacaan pada
Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu
dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili
bacaan pada setiap negeri Islam.
Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam
Nâfi’ bin Abî Nu’aim
al-Ashfihâni
(w 127 H)
2. Dari Mekah : ‘Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : ‘Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah :
terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib
al-Zayyat (w 156
H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh
Imam tersebut berdasarkan kriteria
yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus
ahli dalam bidang qira’at,mengetahui qira’at
yang masyhur dan yang syâdz,
tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata
:
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk
beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat,
tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada
riwayat-riwayat. Inilah
Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum
muslimin.”
Bacaan imam-imam tersebut
dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana
setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro
terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara
menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah)
terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan
adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu
ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu
menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di
kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara
para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu
Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.
Ø Penyederhanaan
Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah”
Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh.
Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari
Andalus yang bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî (w. 444 H) menyederhanakan para
perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî
berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari
masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisamewakili para rawi dari
setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada kitabnya
“al-Taisir”. Rawi-rawi
yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan
qira’at dari Imam Nâfi’
Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan
qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan
qira’at dari Imam Abû ‘Amr
Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H),
meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H),
meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan
qira’at dari Imam Hamzah
Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w.
246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata
mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada masa
setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi
Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi
untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait.
Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh
al-Tahâni” yang
kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair
Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya.
Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh
kitab.Nazham al-Syâthibiyyah
ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai
sekarang nazham ini
dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang
ingin mendalami ilmu qira’at.
BAB
III
PENUTUP
Sejarah mencatat bahwa Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin
Sallâm, Abû Ja’far al-Tabari dan Ismâ-îl al-Qâdi adalah termasuk di antara para
ulama qira’at yang mula-mula merintis pembukuan Ilmu Qira’at al-Qur’an. Melalui
pembukuan tersebut, para ulama qira’at berikutnya dapat membuat kajian ilmu
qira’at lebih jauh lagi. Di antara mereka ada yang menyusunnya dalam bentuk
prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal. Ulama yang terlibat
langsung dalam usaha tersebut di antaranya ialah imam al-Dâni dan al-Syâtibi.
Pada masa ini, istilah qira’at tujuh belum dikenal.
Baru di penghujung abad ketiga Hijrah, Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan
istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang
dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at, yakni Nâfi, Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn
‘Âmir, ‘Âsim, Hamzah, dan al-Kisâ’i.
Ada tiga syarat utama tentang penerimaan qira’at,
yaitu: bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada
Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu
rasam Utsmâni. Dengan demikian maka muncullah macam-macam qira’at, yang terdiri
dari qira’at mutawâtir, masyhur, âhâd, syâdz, mawdû’ dan mudraj. Untuk empat
macam qira’at yang disebutkan terakhir, tidak boleh diamalkan bacaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayyât, Abû
al-Hasan ‘Alî bin Fâris. Al-Tabsirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah. Riyâd:
Maktabah al-Rusyd, 2007.
Al-Qattân, Mannâ
Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Drs. Mudzakir AS, cet. V.
Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2000.
Al-Rûmi, Fahd
bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân. Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. XIII.
Riyâd: T.pn., 2004
Al-Siddieqy, T. M. Hasby. Ilmu-ilmu al-Qur’an.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Al-Suyûtî,
Jalâluddîn ‘Abdurrahmân. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Maktabah
al-‘Asriyyah, 1988.
Fathoni, Ahmad, DR. H. Kaidah Qira’at Tujuh.
Jakarta: ISIQ, 1992.
Ismâ’îl, Nabîl
bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli, DR. ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Atwâruhu, Atsaruhu
fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah. Riyâd: Maktabah al-Tawbah, 2000.
Makalah DR. K.H.
Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002.
Masyhuri,
Ismail, Al-Hafiz. Ilmu Qira’atul Qur’an: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat
Tujuh. Kuala Lumpur: Nurulhas,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar