Sabtu, 14 Februari 2015

perkembangan ilmu qira'at



PERKEMBANGAN ILMU QIRA’AT
Oleh :
ZAINAL MUSTOPA
Nim : 1323402047
(Disampaikan dalam Seminar Kelas Matakuliah Studi Qu’an, Hadits Tarbawi, Program Magister Pendidkan Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto )

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang membahas tentang kaedah membaca al-Qur-an. Ilmu ini disandarkan kepada masing-masing imam periwayat dan pengembangnya yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Cara pengambilan ilmu ini adalah secara talaqqi yakni berhadapan langsung antara guru dan murid dengan memperhatikan bentuk mulut, lidah, dan bibir guru dalam melafazkan ayat-ayat al-Qur’an.
Oleh karena itu, Khalifah Utsmân ketika mengirimkan mushaf ke beberapa wilayah, disertakan pula seorang qâri’ yang qira’atnya sesuai dengan mushaf yang dikirimkannya itu. Mereka terdiri dari sahabat-sahabat yang tahu bagaimana Rasulullah saw. membaca al-Qur’an. Di antara para sahabat itu ada yang menerima dari Nabi hanya satu bacaan saja, ada pula yang menerima dua bacaan, tiga bacaan, dan bahkan ada yang menerima lebih dari itu dan kemudian mereka mengajarkannya kepada orang-orang yang belajar. Maka wajarlah jika timbul perbedaan qira’at pada generasi tabi’in dan generasi penerusnya. 
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, muncullah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut antara lain adalah Nâfi’ bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Katsîr, Hamzah, al-Kisâ’î, dan lain-lain. 
Dari masa ke masa, ilmu qira’at semakin maju sejajar dengan ilmu-ilmu lain yang berkembang dalam dunia Islam pada saat itu. Ilmu yang asalnya hanya dipelajari dan diterima dari mulut ke mulut mulai dibukukan untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dalam makalah ini akan dibahas tentang apa yang di maksud dengan Ilmu Qiraat dan bagai mana perkembangan ilmu Qiraat.
B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang pembahasan mengenai Qiraat di atas dapat di ambil suatu rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang di maksud dengan ilmu Qiraat ?
2.      Bagaimana perkembangan ilmu Qiraat ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Ilmu Qira’at
Sebelum membahas tentang sejarah perkembangan Ilmu Qira’at secara umum perlu kiranya penulis memberikan definisi tentang Ilmu Qira’at. Secara etimologi, lafazh qira’at merupakan bentuk masdar dari qara’a yang berarti “bacaan”. Yang dimaksudkan di sini adalah perbedaan-perbedaan dalam membaca Al-Qur’an.
Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira'at ini.  Imam Al-Zarkasyi misalnya, mengemukakan pengertian qira'at sebagai berikut:
وَالْقِرَاءَاتُ هِيَ اخْتِلَافُ أَلْفَاظِ الْوَحْيِ الْمَذْكُوْرِ فِي كِتَابَةِ الْحُرُوْفِ أَوْ كَيْفِيَتِهَا مِنْ تَخْفِيْفٍ وَتَثْقِيْلٍ وَغَيْرِهِمَا
Artinya: “Qira'at yaitu perbedaan lafaz-lafaz wahyu (Al-Qur’an) dalam hal penulisan hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfîf, tatsqîl, dan lain-lain.”
Dalam rumusan definisi di atas, al-Zarkasyi berpendapat bahwa qira’at sebagai sistem penulisan huruf dan pengucapan huruf-huruf tersebut, tanpa menyebutkan sumber riwayat qira’at. Adapun menurut Al-Dimyathi, sebagaimana dikutip oleh ‘Abdul Hâdî al-Fadli, mengemukakan definisi qira’at sebagai berikut:
الْقِرَاءَاتُ: عِلْمٌ يُعْلَمُ مِنْهُ اتِّـفَاقُ النَّاقِـلِيْنَ لِكِتَابِ اللهِ تَعـَالَى وَاخْتِلَافُ فَـهْمٍ فِى الْحَذْفِ وَالْإِثْـبَاتِ وَالتَّـحْرِيْكِ وَالتَّـسْكِيْنِ وَالْفَصْلِ وَالْوَصْلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ هَيْـئَةِ النُّـطْقِ وَالْإِبْدَالِ وَغَيْرِهِ مِنْ حَيْثُ السِّمَاعِ
Artinya: Qira'at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang di-ikhtilaf-kan oleh para ahli qira'at, sepertihadzf (membuang huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl (menggantikan huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh melalui indra pendengaran.”
Imam Syihâbuddîn al-Qusthullânî mengemukakan pendapat yang senada dengan al-Dimyathi sebagai berikut: [1]
 Qira'at yaitu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira'at (tentang cara-cara pengucapan lafaz-lafaz Al-Qur’an), seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’râb, hadzf, itsbât, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Imam Ibnu al-Jazari. (w. 833 H) memberikan definisi Ilmu Qira’at dalam kitabnya “Munjid al-Muqri’in” adalah sebagai berikut :
 Ilmu Qira’at adalah satu cabang ilmu untuk mengetahui cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan menisbatkan bacaan-bacaan tersebut kepada para perawinya.”
Disamping itu, ada ulama yang mengaitkan definisi qira'at dengan mazhab atau imam qira'at tertentu selaku pakar qira'at yang bersangkutan dan atau yang mempopulerkannya. Misalnya al-Qaththân merumuskan definisi qira’at sebagai berikut:
الْقِرَاءَاتُ: مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّطْقِ فِي الْقُرْآنِ يَذْهَبُ بِهِ إِمَامٌ مِنَ الْأَئِمَّةِ الْقُرَّاء مَذْهَبًا يُخَالِفُ غَيْرَهُ.
Artinya: Qira’at adalah satu madzhab/cara tertentu dari beberapa madzhab cara mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya.
Sedangkan Muhammad ‘Alî al-Shâbûni mengemukakan definisi qira'at sebagai berikut: 
الْقِرَاءَاتُ: مَذْهَبٌ مِنْ مَذَاهِبِ النُّـطْقِ مِنَ الْقُرْأنِ يَذْهَبُ بِـهِ الْإِمَـامُ مِنَ الْأَئِـمَّةِ الْقُرَّاءِ مَذْهَبًـا يُخَـالِفُ غَيْرَهُ فِى النُّطْـقِ بِالْقُرْأنِ الْكَرِيْـمِ وَهِيَ ثَـابِتَـةٌ بِـأَسَانِيْـدِهَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْـهِ وَسَـلَّمَ
Artinya: “Qira'at ialah suatu mazhab/cara tertentu dalam cara pengucapan Al-Qur’an yang masing-masing imam itu memilih satu cara yang berbeda dengan yang lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Rasulullah saw.”
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, nampak bahwa qira'at Al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad saw. melalui al-simâ’ dan al-naql. Adapun yang dimaksud dengan al-simâ’ adalah bahwa qira'at Al-Qur’an itu diperoleh melalui cara langsung mendengar dari bacaan Nabi saw. sedangkan yang dimaksud dengan al-naql adalah diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira'at Al-Qur’an itu dibacakan di hadapan Nabi saw., lalu beliau membenarkannya.
Definisi di atas juga memberikan tekanan pada empat persoalan pokok yaitu:
 Pertama : Ilmu Qira’at adalah ilmu yang terkait dengan teks-teks Al-Qur’an dari segi cara pengucapannya. Hal ini berbeda dengan ilmu tafsir yang menganalisa makna yang ada di balik teks-teks Al-Qur’an.  Ilmu Qira’at sangat mengandalkan oral (lisan) untuk mengucapkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dalam semua seginya, seperti pengucapan huruf, baik dari segi makhraj dan sifatnya, hukum-hukum tajwid seperti idghâm, iqlâb, ikhfâ’, izhhâr dan lain sebagainya, sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh nabi kepada para sahabatnya. Hal ini  berbeda dengan membaca teks lain selain Al-Qur’an, seperti membaca teks hadis nabi yang tidak mengharuskan cara-cara seperti melafalkan Al-Qur’an. Dengan demikian Ilmu Qira’at sangat terkait dengan tathbîq (praktik) membaca. Mungkin banyak orang yang mengerti teori Ilmu Qira’at, tapi pada akhirnya dia harus juga pandai mempraktikkan teori tersebut dengan baik dan benar. Benarlah apa yang dikatakan oleh Ibnu al-Jazari dalam “THayyibah al-Nasyr”:
 “Hubungan timbal balik antara seseorang dengan orang dengan ilmu qira’at adalah jika dia terus menerus menggerak-gerakkan mulutnya (mempraktikkan bacaan).
Kedua : Ilmu Qira’at sangat terkait dengan “Arabisme” . Hal ini tidak bisa disangkal lagi karena Al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab, kepada nabi yang berbangsa Arab, dan kaum yang juga berbangsa Arab. Bahasa yang digunakan juga berbahasa Arab. Maka cara pengucapan kalimat-kalimat Al-Qur’an juga mengacu kepada cara orang Arab melafalkan kalimat-kalimat Arab. Bagi bangsa yang non Arab, pada saat melafalkan Al-Qur’an harus menyesuaikan diri dengan cara yang digunakan oleh orang Arab yang fasih membaca, lalu dipadukan dengan cara yang diajarkan oleh nabi kepada para sahabat-sahabatnya. Seorang qari’/qari’ah yang mahir adalah mereka yang mampu melafalkan Al-Qur’an secara tepat, seakan-akan dia adalah orang Arab. Tidak kelihatan lagi “lahjah a’jamiyyah”nya atau aksen‘ajamnya. Sebaliknya ada dan mungkin banyak orang Arab yang mampu membaca Al-Qur’an dengan aksen/lahjah mereka tapi bacaannya tidak sesuai dengan bacaan yang diajarkan oleh rasul kepada para sahabat-sahabatnya yang akhirnya sampai kepada Syuyûkh al-Qurrâ’.
Ketiga : Ilmu Qira’at adalah termasuk dalam komponen ilmu riwayah yang sudah given (sudah jadi) yaitu ilmu yang diperoleh melalui periwayatan dari satu syekh (pakar Ilmu Qira’at)  ke syekh yang lain secara berkesinambungan dan terus menerus sampai kepada Nabi Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan IlmuTafsir yang tugasnya menganalisa teks-teks Al-Qur’an dari segi maknanya. Pada saat menganalisa teks-teks tersebut disamping merujuk  kepada hadis  nabi, perkataan sahabat, juga melalui daya ijtihad, dan kreatifitas seorang mufassir. Hasil ijtihad seorang mufassir jika berlandaskan kepada kriteria penafsiran Al-Qur’an yang telah disepakati, walaupun berbeda dengan hasil ijtihad penafsir yang lain, dan walaupun tidak berlandaskan satu periwayatan dari nabi, masih bisa ditolelir dan bisa diterima. Hal ini berbeda dengan Ilmu Qira’at yang sama sekali tidak menerima adanya perbedaan karena berdasarkan ijtihad atau qiyas. Perbedaan bacaan bisa diterima jika  betul-betul berasal dari nabi. Imam al-Syâthibi berkata dalamkitabnya Hirz al-Amâni” :
“Tidak ada tempat pijakan/pintu masuk bagi masuknya qiyas/ijtihad dalam ilmu qira’at. Terimalah dengan lapang dada apa yang ada pada qira’at.
Dengan adanya “silsilah sanad” dalam Ilmu Qira’at, maka Al-Qur’anmasih tetap dalam orisinilitas dan kemurniannya. Inilah sesungguhnya urgensi mempelajari Ilmu Qira’at.
Keempa : Ilmu Qira’at sangat terkait dengan Rasm Mushhaf Utsmâni  karena setiap bacaan harus selalu mengacu kepada MushhafAl-Qur’an yang telah mendapatkan persetujuan dan ijma’  para sahabat nabi pada masa penulisan mushhaf pada zaman Utsmân bin Affân atau mushhaf yang sesuai dengan rasm Utsmâni.
B. Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at
Sebagaimana di ketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang waktu mulai di turunkannya qira’at, yaitu ada yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunya al-Qur’an. Ada juga yang mengatakan qira’at mulai di turunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana sudah mulai banyak orang yang masuk Islam dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Masing-masing pendapat ini mempunyai dasar yang kuat, namun dua pendapat itu dapat kita kompromikan, bahwa Qiraat memang mulai di turunkan di Mekah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an, akan tetapi ketika di Mekah qira’at belum begitu di butuhkan karena belum adanya perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda. 
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at. Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:
Fase Pertama: masa pertumbuhan Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan berbagai macam versi bacaan. 
Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri. Ada sahabat yang pergi ke negeri Basrah seperti Abu Mûsâ Al Asy’ary. Ada yang ke Kufah seperti Ibnu Mas’ûd. Ada yang pergi ke Syam seperti Abû Darda’, dan lain sebagainya. Para sahabat tersebut mengajarkan al-Qur’an kepada para tabi’in sesuai dengan bacaan yang mereka terima dari Nabi. 
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at. 
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at. Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :
1.      ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
2.       Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3.      Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
4.      Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5.      Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6.      Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7.      Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8.      ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9.      ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10.  Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11.  Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât. 
Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah). Agaknya penulisan qira’at pada periode ini hanya menghimpun riwayat yang sampai kepada mereka, tanpa menyeleksi perawi atau materi qira’at. 
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154 H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan ‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w. 199 H). 
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah. 
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qira’at saja yang masyhur padahal masih banyak imam-imam qira’at lain yang kedudukannya setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qira’at mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qira’at yang sesuai dengan khat mushaf yang mudah dihafal dan mudah menurut bacaan al-Qur’an. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa di antara ahli qira’at itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qira’at dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan qira’atnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tanpa mengabaikan periwayat selain tujuh imam qira’at tersebut, seperti qira’at Ya’qûb, Abû Ja’far, Syaibah dan lain-lain. 
Kehadiran istilah Qira’at Sab’ah telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan ulama. Para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa qira’at sab’ah adalah sab’atu ahruf yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibn Khawalaih, Ibn Zanjalah, Makki Ibn Abi Tâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya. 
Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana di ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan bahkan ratusan. 
Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1.                    Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2.                    Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3.                     Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4.                    Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5.                    Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim 
6.                    Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7.                    Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i. 
Penyederhanaan rawi ini sangat bermanfaat untuk memudahkan mempelajari ilmu qira’at , apalagi para perawi yang terpilih telah di akui kredibilitasnya dalam bidang qira’at oleh para ulama sezamannya. Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab. Nazam al-Syâtibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâtibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazam ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia yang ingin mendalami ilmu qira’at. 


C.    Terbentuknya Qira’at Sab’ah
Banyaknya qira’at yang tersebar di banyak negeri Islam menyebabkan munculnya rasa kegalauan pada banyak kalangan, terutama kalangan awam. Hal inilah yang menyebabkan sebagian ahli qira’at membuat rambu-rambu yang bisa menyeleksi qira’at mana saja yang patut bisa dianggap shahîh. Rambu-rambu yang dimaksud adalah : pertama : harus mutawâtir, masyhur dikalangan ahli qira’at. Kedua : harus sesuai denga rasm Utsmâni dan ketiga : harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
 Dari sinilah lalu muncul prakarsa Abû Bakar Ahmad bin Mûsâ al-Baghdâdi  Ibnu Mujâhid (w 324 H) untuk  menyederhanakan bacaan pada Imam–imam yang paling berpengaruh pada setiap negeri Islam. Lalu dilipilihlah Tujuh Imam yang bisa mewakili bacaan pada setiap negeri Islam. Mereka yang terpilih adalah :
1. Dari Madinah : Imam Nâfi’ bin Abî Nu’aim al-Ashfihâni (w 127 H)
2. Dari Mekah : Abdullâh bin Katsîr al-Makki (w. 120 H)
3. Dari Bashrah : Abû ‘Amr al-Bashri (w 153 H)
4. Dari Syam : Abdullâh bin ‘Amir al-Syâmi (w. 118 H)
5. Dari Kufah : terpilih tiga Imam yaitu : ‘Âshim bin Abî al-Najud (w. 127 H), Hamzah bin Habib al-Zayyat (w 156 H) , dan ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w 189 H).
Pemilihan ketujuh Imam tersebut berdasarkan kriteria yang sangat ketat. Kriteria tersebut disebutkan sendiri oleh Ibnu Mujâhid dalam kitabnya “ al-Sab’ah” yaitu : harus ahli dalam bidang qira’at,mengetahui qira’at yang masyhur dan yang syâdz, tahu tentang periwayatan, dan tahu tentang seluk beluk bahasa Arab. Ibnu Mujâhid berkata :
“Diantara para ahli Al-Qur’an ada yang tahu tentang seluk beluk I’râb, qira’at, bahasa, mengerti tentang arti dari masing-masing kalimat, tahu tentang qira’at yang syâdz, mampu memberikan penilaian kepada riwayat-riwayat. Inilah Imam yang patut didatangi oleh para penghafal Al-Qur’an pada setiap negeri kaum muslimin.
 Bacaan imam-imam tersebut dikumpulkan oleh Ibnu Mujâhid pada kitabnya yang terkenal yaitu “Al-Sab’ah”. Sebagaimana setiap prakarsa yang baru ada yang pro dan ada yang kontra. Mereka yang pro terhadap gagasan Ibnu Mujâhid mengikuti jejak Ibnu Mujâhid dengan cara menghimpun bacaan Imam Tujuh dari berbagai riwayat dan memberikan penjelasan (hujjah) terhadap setiap fenomena qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam tersebut. Sedangkan para ulama yang kontra mengkhawatirkan akan adanya timbul sangkaan bahwa Qira’at Sab’ah adalah sab’atu ahruf  yang di kehendaki oleh hadis. Oleh karena itu menurut Abû ‘Abbâs bin Ammar (w. 430 H) alangkah baiknya kalau yang di kumpulkan itu kurang dari tujuh imam qira’at atau lebih dari tujuh. Di antara para ulama yang kontra adalah Abû ‘Alî al-Fârisi, Ibnu Khawalaih, Ibnu Zanjalah, Makki Ibnu Abi Thâlib al-Qaisyi dan lain sebagainya.
Ø  Penyederhanaan Perawi Imam Qira’at Sab’ah
Pada kitab “al-Sab’ah” Ibnu Mujâhid masih menyertakan banyak perawi dari setiap Imam dari Imam Tujuh. Kemudian pada periode berikutnya, muncul seorang ahli qira’at kenamaan dari Andalus yang bernama Utsmân bin Sa’id, Abû ‘Amr al-Dânî  (w. 444 H) menyederhanakan para perawi dari setiap Imam Qira’at Tujuh menjadi dua pada setiap Imam. Al-Dânî berpendapat bahwa adanya dua rawi pada setiap Imam lebih memudahkan menghafal materi qira’at dari masing-masing Imam. Dan dua rawi pada setiap Imam sudah bisamewakili para rawi dari setiap Imam. Penyederhanaan rawi menjadi dua rawi dari setiap Imam bisa kita lihat pada  kitabnya “al-Taisir”. Rawi-rawi yang disebut oleh al-Dânî untuk setiap Imam adalah sebagai berikut :
Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
Qunbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu Katsîr
Al-Dûrî (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
Hisyâm (w. 245 H) dan Ibnu Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibnu ‘Âmir
Syu’bah (w. 193 H) dan Hafsh (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âshim
Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Apa yang ditetapkan oleh Imam al-Dânî ternyata mendapatkan perhatian yang demikian besar dari para ahli qira’at pada masa setelah al-Dânî. Hal tersebut bisa dilihat dari kemunculan imam Al-Syâthibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâthibiyyah”. Syair-syair Syâthibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâthibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab.Nazham al-Syâthibiyyah ini merupakan karya terbesar imam al-Syâthibi dalam bidang ilmu qira’at. Sampai sekarang nazham ini dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam di dunia  yang ingin mendalami ilmu qira’at.





BAB III
PENUTUP
Sejarah mencatat bahwa Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm, Abû Ja’far al-Tabari dan Ismâ-îl al-Qâdi adalah termasuk di antara para ulama qira’at yang mula-mula merintis pembukuan Ilmu Qira’at al-Qur’an. Melalui pembukuan tersebut, para ulama qira’at berikutnya dapat membuat kajian ilmu qira’at lebih jauh lagi. Di antara mereka ada yang menyusunnya dalam bentuk prosa dan ada pula yang berbentuk syair agar mudah dihafal. Ulama yang terlibat langsung dalam usaha tersebut di antaranya ialah imam al-Dâni dan al-Syâtibi.
Pada masa ini, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Baru di penghujung abad ketiga Hijrah, Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at, yakni Nâfi, Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Ibn ‘Âmir, ‘Âsim, Hamzah, dan al-Kisâ’i. 
Ada tiga syarat utama tentang penerimaan qira’at, yaitu: bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw., sesuai dengan kaidah bahasa arab, dan sesuai dengan salah satu rasam Utsmâni. Dengan demikian maka muncullah macam-macam qira’at, yang terdiri dari qira’at mutawâtir, masyhur, âhâd, syâdz, mawdû’ dan mudraj. Untuk empat macam qira’at yang disebutkan terakhir, tidak boleh diamalkan bacaannya.






DAFTAR PUSTAKA
Al-Khayyât, Abû al-Hasan ‘Alî bin Fâris. Al-Tabsirah fî Qirâ’ât al-Aimmah al-‘Asyrah. Riyâd: Maktabah al-Rusyd, 2007.
Al-Qattân, Mannâ Khalîl. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Drs. Mudzakir AS, cet. V. Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2000.
Al-Rûmi, Fahd bin ‘Abdurrahmân bin Sulaimân. Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân al-Karîm, cet. XIII. Riyâd: T.pn., 2004
Al-Siddieqy, T. M. Hasby. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1993
Al-Suyûtî, Jalâluddîn ‘Abdurrahmân. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an. Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1988.
Fathoni, Ahmad, DR. H. Kaidah Qira’at Tujuh. Jakarta: ISIQ, 1992.
Ismâ’îl, Nabîl bin Muhammad Ibrâhîm ‘Âli, DR. ‘Ilm al-Qirâ’ât: Nasy’atuhu, Atwâruhu, Atsaruhu fî ‘Ulûm al-Syar’iyyah. Riyâd: Maktabah al-Tawbah, 2000.
Makalah DR. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, MA, “Qira’ah Sab’ah di Indonesia”, Maret 2002.
Masyhuri, Ismail, Al-Hafiz. Ilmu Qira’atul Qur’an: Sejarah dan Pokok Perbezaan Qiraat Tujuh. Kuala Lumpur: Nurulhas,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar