Sabtu, 14 Februari 2015

lembaga pendidikan dimasa penjajahan jepang



LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN JEPANG
Oleh :
ZAINAL MUSTOPA
Nim : 1323402047
(Disampaikan dalam Seminar Kelas Matakuliah Sejaran Lembaga Pendidikan Islam, Program Magister Pendidkan Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto )
A.  PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita besar, menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut Jepang menginginkan menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, daratan Cina, kepulauan Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.
Perkembangan ekonomi dan industri Jepang memberi gambaran bahwa tampaknya perluasan daerah itu mutlak diperlukan. Oleh karena itu rencana kemakmuran bersama Asia Raya dianggap sebagai suatu keharusan, dan oleh kalangan militer diterima dan disambut dengan hangat karena menjanjikan adanya prestise kepahlawanan dan dedikasi.
Dengan demikian maka kejayaan dan masa keemasan kaum penjajah Belanda hilang lenyap sekaligus, ketika pada tanggal 8 Maret 1942 mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Dengan semboyan Asia untuk bangsa Asia, Jepang mulai menguasai Indonesia. Yang merupakan sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan perang Jepang. Karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah dan tenaga manusia yang kaya, yang besar artinya bagi kelangsungan perang Pasifik, dan hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya. Selanjutnya Indonesia memasuki alam baru di bawah pemerintahan Jepang.
Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam di Indonesia lebih lebih lunak sehingga ruang gerak pendidikan islam lebih bebas dari pada waktu penjajahan kolonial belanda. Terlebih lebih pada masa permulaan, pemerintah jepang menampakan diri seakan akan membela kepentingan islam. Untuk mendekati umat islam, mereka menempuh beberapa kebijakan.
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut Hakko Ichiu, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya dibandingkan dengan penjajahan Belanda.[1]
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala daya upaya ditujukan untuk kepentingan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sedikit sekali, hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan atau bekerja.
2.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas mengenai lembaga pendidikan islam pada zaman  penjajahan jepang untuk itu kami akan membatasi pembahasan yang akan kita kaji pada makalah kali ini adapun pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut :
a.    Bagaimana Politik Jepang Demi Mengambil Simpati Bangsa Indonesia ?
b.    Bagaimana pendidikan pada zaman jepang ?
c.         Bagaimana modernisasi pendidikan islam pada masa jepang ?
B.     PEMBAHASAN
a.    Politik Jepang Demi Mengambil Simpati Bangsa Indonesia
Jepang menjajah indonesia setelah mengalahkan belanda dalam perang dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan asia timur raya atu asia untuk asia.[2] Sudah sejak awal abad ini Jepang menjadi imperialistis karena berbagai faktor, antara lain karena Jepang dihadapkan kepada persoalan kepadatan penduduk. Sesudah PD I minat terhadap Indonesia bangkit. Alasan idiil bangkitnya minat itu adalah ajaran Shintoisme tentang Hakko- ichiu yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia. Khususnya yang menyangkut bangsa Indonesia, ajaran Hakko-ichiu diperkuat oleh keterangan Jepang sekitar 1930 yang menyatakan bahwa bangsa Jepang dan Indonesia itu serumpun, maka beralasan jika Jepang mengaku sebagai saudara tua, kecuali alasan tersebut masih ada lagi alasan riil yaitu alasan ekonomis.
Usaha Jepang menarik simpati dalam bidang ekonomi yaitu Jepang memberi komisi yang baik kepada pedagang-pedagang pribumi yang bersedia menjual barang-barang Jepang. Cara lain untuk menarik simpati adalah lewat pendidikan,pelajar-pelajar Indonesia diundang untuk belajar di Jepang dengan mendapat beasiswa. Jepang juga berusaha menarik simpati umat Islam Indonesia, orang islam Jepang dikirim ke Mekkah menunuaikan ibadah haji, di Tokyo didirikan masjid, dan kemudian suatu konferensi agama islam diselenggarakan di Tokyo.[3]
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama dengan Gunseikan pada 7 Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005). Intinya, misi Nipponisasi tersebut dianggap akan tertanam lebih mudah pada rakyat kecil bila mereka sudah terebut hatinya dengan perlakuan istimewa Jepang terhadap mayoritas rakyat yang beragama Islam. Efek samping yang tidak disadari oleh Jepang karena kebijakan tersebut adalah perkembangan lembaga pendidikan ke-Islam-an non formal seperti pesantren dan yang formal seperti madrasah, menjadi begitu pesat.
Demi melancarkan usaha Nipponisasi-nya, Jepang juga melakukannya lewat kebijakan pelarangan penggunaan bahasa Eropa (Inggris dan Belanda) dalam komunikasi lisan dan tulisan, dan hanya memperbolehkan komunikasi dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Pengaruh tersebut sangat terasa dalam dunia pendidikan karena semasa pendudukan Belanda, bahasa pengantar yang dipergunakan di sekolah-sekolah adalah bahasa Belanda. Sehingga pada masa itu, Jepang membentuk juru bahasa sebagai penerjemah ketika guru sedang mengajar, mempopulerkan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda dengan membuka sekolah bahasa Jepang, mengadakan perlombaan bahasa Jepang, memasukkan bahasa Jepang dalam ujian calon guru dan ujian akhir murid. Selain itu, Jepang juga mengganti seluruh istilah yang digunakan baik dalam dunia pendidikan, persuratkabaran, hingga nama lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan bahasa Jepang. Propaganda tersebut juga dilakukan melalui radio dan dunia hiburan seperti film layar lebar, drama, wayang kulit, tari-tarian dan nyanyian. Selain itu, Jepang juga membentuk panitia penyempurnaan bahasa Indonesia, yang mana imbasnya sangatlah menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia.
Demi kepentingan perangnya, Jepang melakukan banyak upaya untuk memberdayakan bangsa Indonesia, misalnya melalui indoktrinasi dengan pengasramaan kiai dan santri-santri untuk dibekali kemampuan bela diri dan kemiliteran untuk membantu Jepang. Malah tanpa disadari Jepang, kebijakan tersebut malah menumbuhkan semangat nasionalisme dan keinginan untuk merdeka yang meluap-luap pada pemuda kalangan pesantren tersebut (Assegaf, 2005). Di lain tempat, pekarangan sekolah-sekolah ditanami umbi-umbian dan sayur-sayuran untuk tambahan bahan makanan, serta pohon jarak untuk menambah minyak demi kepentingan perang Jepang, tentunya semua hal tersebut dilakukan oleh para pelajar (Said dan Affan, 1987). Selain itu, mereka juga disuruh untuk bergotong royong mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk kepentingan pertahanan. Para pelajar juga dibekali dengan berbagai macam ketangkasan dalam perang untuk mempertahankan diri. Ditambahkan pula dengan kewajiban untuk senam pagi untuk menguatkan fisik pelajar dalam membantu Jepang. Indoktrinasi dilakukan melalui lagu senam yang berbahasa Jepang, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang sebelum masuk kelas, melakukan penghormatan kepada Kaisar Jepang, mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka mewujudkan Asia Raya, dan seterusnya.
Diskriminasi dan diferensiasi pendidikan yang diberlakukan pada zaman Belanda dengan menggolongkan sekolah menurut golongan bangsa dan status sosial dihapuskan oleh Jepang. Sehingga hanya berlaku satu macam sekolah tiap tingkatnya untuk segala kalangan dan bangsa Indonesia pun bebas untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut. Meskipun kebijakan tersebut diambil oleh Jepang dengan tujuan untuk memudahkan proses pengawasan dan manajerial administratif saja, tetapi dampak penghapusan diskriminasi dan diferensiasi tersebut begitu besar bagi dunia pendidikan pada masa itu. Tentunya selain dampak positif, dampak negatifnya adalah penurunan drastis jumlah sekolah, guru, dan murid secara kuantitatif. Hal itu sangat jelas terasa karena banyak sekolah yang ditutup karena penyederhanaan sistem persekolahan tersebut dan guru-guru sekolah banyak yang terserap di bidang profesi lainnya seperti menjadi pegawai pemerintah dan tentara militer.
Kebijakan di bidang pendidikan yang dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah gratis, pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem persekolahan), tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk perburuhan dan mobilisasi militer.
b.   Pendidikan Pada Zaman Jepang
Pada masa awal pemerintatahanjepang seakan-akan membela kepantingan islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat indonesia, pemerintah jepang membolehkan  didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren yang  terbebas dari pengawasan jepang. Jepang menempuh kebijakan sebagai berikut :
1)      Kantor usrussan agama yang pada jaman belanda di sebut kantor voor Islamistische saken yang dipimpin oleh orientalis belanda di ubah menjadi sumubu yang dipimpin ulama islam sendiri, yaitu kh hasyim asyari dari jombang dan di daerah-daerah di sebut sumuka.
2)      Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar jepang.
3)      Sekolah-sekolah negeri di beri pelajaran budi pekerti atau agama
4)      Membentukbarisan hizbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran pemuda islam (santri-santri) di pimpin oleh kh zainul arifin
5)      Jepang mengijinkan berdirinya sekolah tinggi islam di pimpin oleh kh wahid hasyim, kahar muzakkir, dan bung hatta
6)      Ulama islam bekerjasama dengan pemimpin nasionalis membentuk barisan pembela tanah air (peta)
7)      Umat islam mendirikan majlis syuro muslimin indonesia (masyumi).[4]
Maksud dari pemerintahan jepang adalah agar kekuatan umat isalam dan nasionalis bisa di arahkan untuk kepentingan memenangkan perang yang di pimpin jepang, Zaman jepang sebenarnya memperlihatkan gambaran buruk mengenai pendidikan bila di bandingkan masa-masa akhir pemerintahan hidia belanda. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20, perguruan tinggi terdiri empat buah dan belum dapat melakuka kegiatan. Jumlah murid merosot 30% sekoalh menengah merosot 90%, guru-guru sd berkurang 35%, guru sekolah menengah tinggal 5%, angka buta huruf tinggi sekali.
Pada masa pemerintahan jepang sekolah dasar di jadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun, sebenarnya jepang mengadakan penyeragaman ini untuk memudahkan pengawasan, baik dalam isi maupun penyelanggaraannya. Ternyata kemudian menguntungkan bagi kita, terutama bila di lihat dari pendidikan itu sendiri, yaitu menghapuska diskriminasi. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum di tujukan  untuk keperluan perang asia raya.
Selain itu jepang mengadakan latihan bagi guru-guru di jakarta untuk mengindoktrinasi mereka dalam hakki Iciu (kemakmuran bersama). Para peserta latihan di ambil dari tiap-tiap daerah kabupaten. Sesudah  selesai latihan mereka harus kembali ke daerah masing-masing, mengadakan latihan untuk meneruskan hasil yang mereka peroleh. Dengan demikian susunan sekolah menjadi dua bagian, yaitu :
1). Sekolah umum terdiri dari
1.    sekolah rakyat enam tahun
2.    sekolah menengah tiga tahun.
3.     sekolah menengah tinggi tiga tahun
2). Sekolah guru terdiri dari :
1.      Sekolah guru dua tahun
2.      Sekolah guru empat tahun
3.      Sekolah guru enam tahun.[5]
bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar di gunakan di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa jepang di berikan sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat jepang. Bahasa daerah di berikan kepada murid kelas 1 dan 2 sampai murid tersebut dapat mengerti bahasa indonesia. Murid di haruskan melakukan kinrohosyi (kerja bakti) seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan, membersihkan asrama, memperbaiki jalan dan lain-lain. Selain itu di adakan latihan jasmani (taiso) dan latihan militer. Murid-murid di gembleng agar memiliki semangat jepang, harus menyanyikan lagu kebangsaan jepang kimigayo serta melakukan pengormatan kearah istana kaisar di tokyo dan bendera jepang, untuk guru-guru di samping latihan kursus-kursus bahasa jepang, dengan demikian sekolah-sekolah menjadi tempat pendidikan yang miteris dan tempat indoktrinasi untuk kemakmuran asia timur raya, semuanya di tujukan untuk memenangkan perang melawan sekutu.
Sekolah yang didirikan zaman belanda di buka lagi, juga sekolah-sekolah swasta seperti sekolah Agama Islam (madrasan atau pesantren) , taman siswa, sekolah muhammadiyah, termasuk sekolah-sekolah yang di asuh oleh badan-badan misi atau zending kristen, tetapi harus di selenggarakan langsung oleh pemerintah jepang, selain itu jepang juga memberi kesempatan bagi golongan cina untuk membuka sekolah lagi sebagaimana zaman belanda tetapi harus di bawah pengawasan jepang.[6]
Guru-guru yang dilatih dan diindoktrinasi dimulai bulan juni 1942 di jakarta, mata pelajaran meliputi pendidikan semanngat, bahasa, adat istiadat, lagu-lagu jepang, olah raga pendidikan tentang dasar-dasar pertahanan, dan sebagainya, apabila telah selesai pulangan kedaerahnya masing-masing untu melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi alat propaganda jepang. Kedudukan golongan pendidik pada masa jepang mendapat tempat yang baik dalam lingkungan masyarakat.
Semua perguruan tinngi masa pemerintahan jepang di tutup, walaupun kemudian ada beberapa yang di buka seperti perguruan tunggi kedokteran (ika daigaku) di jakarta tahun 1943, perguruan tinggi teknik di bandung, perguruan tinggi pamongpraja di jakarta, perguruan tinggi kedokteran hewan di bogor, semuanya tetap di bawah pengawasan jepang.Baru pada tanggal 27 rajab 1364 atau 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di jakarta situasi ini menjadi mungkin setelah umat islam melancarkan perlawanan pesantren suka manah (25 februari 1944) yrng kemudian di susul oleh perlawanan peta belitar.[7]
Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman militer jepang umumnya mengalami kemunduran, namun masalah yang paling penting pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah nasionalisasi, baha pengantar, serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas berat dimasa mendatang. 
c.    Modernisasi Pendidikan Islam
Gagasan modernisasi Islam di realisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang di adopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda pemerkasa pertama dalam hal ini adalah organisasi-organisasi modern islam seperti Jamiat Khair, Al-irsyad, muhammadiyah dan lain-lain, pada awal perkembangan adopsi gagasan modern pendidikan islam ini setidaknya terdapat dua kecendrungan pokok eksperimentasi organisasi-organisasi islam di atas pertama adalah adopsi sistem dan lembaga pendidikan modern hampir secara menyeluruh, titik tolak modernisasi pendidikan islam disini adalah sistema dan kelembagaan pendidikan modern, bukan sistem dan lembaga pendidikan tradisional.
Eksperimen ini terlihat jelas di lakukan oleh Abdullah Ahmad dengan mendirikannya Madrasah Adabiyah, yang kemudian di ubah menjadi sekolah Adabiyah (1915) hanya terdapat sedikit ciri atau unsur dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah belanda selain mengadopsi seluruh kurikulum His Belanda, sekolah adabiyah menambahkan pelajaran Agama dua jam sepekan.
Selaras dengan itu muhammadiyah mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan belanda secara cukup konsisten dan menyeluruh misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah ala belanda, seperti Mulo, His dan lain-lain, sementara itu sekolah-sekolah Muhammadiyah membedakan diri dengan sekolah-sekolah Belanda hanya dengan memasukkan pendidikan Agama (persisnya dalam istilah Muhammadiyh itu sendiri, met de qur’an) kedalam kurikulumnya. Karena itu sebenarnya dapat disebut sebagai sekolah Umum Plus, Muhammadiyah juga bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah modern dengen mendirikan Madrasan Muallimin dan Madrasah Muallimat, tetapi sama dengan sistem kelembagaan sekolah-sekolahnya.
Apakah surau atau pesantren sebagai basisinya, pada piahak lain terdapat eksperimen yang bertitik tolak justru dari sistem dan kelembagaan islam itu sendiri, sistem pendidikan madrasah atau surau pondok pesantren yang memang secara tradisional merupakan kelembagaan pendidikan Islam (indigenous), di modernisasi misalnya dengan mengadopsi aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern khusunya dalam kandungan kuriulum, teknik dan metode pengajaran, eksperimen ini pertama kali di lakukan pesantren Manba’ul ulum, serakarta pada tahun 1906   pesantren ini meiliki basis pada pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu tradisisonal islam, seperti Al-qur’an, Hadits, Fiqh, Bahasa Arab, dan lain-lain juga terdapat mata pelajaran Mantiq, Al-jabar, dan Ilmu Falak, selain itu pesantren Manba’ul Ulum juga memasukkan beberapa mata pelajaran modern kedalam kurikulumnya seperti membaca (huruf latin) dan berhitung.
Eksperimen ini lebih terkenal dilakukan H..Abdul Karim Amrullah yang pada tahun 1916 menjadi surau jembatan besi lembaga pendidikan tradisional Islam Minang kabau sebagai basis untuk pengembangan madrasah modern yang kemudian lebih di kenal sebagai Sumatra Thawalib, berbarengan dengan itu Zainuddin labay el yunasi mengembangkan madrasah diniyah, yang pada awal perkembangannya merupakan madrasah sore untuk memberikan pelajaran Agama pada murid-murid sekolah, kemudian di susul pada tahun 1926 di pulau jawa membentuk pondok pesantren  modern gontor ponorogo, perlunya modernisasi sistem dan kelambagaan pendidikan Islam indigenous hal ini memiliki makna filosofis yang mendalam bahwa pesantren lebih berakar kuat dan mendalam oleh sebab itu lebih acceptable bagi banyak kaum muslimin
Kedua bentuk eksperimen ini pada dasarnya terus berlanjut hingga dewasa ini, dengan ini kita melihat dua arus utama : pertama. Sistem dan kelembagaan pendidikan islam , yang merupakan pendidikan umum dengan penekanan seadanya pada aspek-aspek pengajaran islam. Termasuk dalam kategori ini dalah madrasah pasca-UUSPN 1989, yang secara eksplisit menyatakan bahwa madrasah-madrasah adalah sekolah umum yang berciri keagamaan. Kedua, sistem dan kelembagaan pesantren yang dalam banyak hal telah di modernisasi dan di sesuaikan dengan tuntutan pembangunan, modrnisai pembangunan menemukan momennya akhir taun 1970an.[8]
C.    PENUTUP
a.      Kesiimpulan
Jepang menempuh kebijakan sebagai berikut :1).Kantor usrussan agama yang pada jaman belanda di sebut kantor voor Islamistische saken yang dipimpin oleh orientalis belanda di ubah menjadi sumubu yang dipimpin ulama islam sendiri, yaitu kh hasyim asyari dari jombang dan di daerah-daerah di sebut sumuka.2). Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar jepang. 3). Sekolah-sekolah negeri di beri pelajaran budi pekerti atau agama 4). Membentukbarisan hizbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran pemuda islam (santri-santri) di pimpin oleh kh zainul arifin 5). Jepang mengijinkan berdirinya sekolah tinggi islam di pimpin oleh kh wahid hasyim, kahar muzakkir, dan bung hatta,6). Ulama islam bekerjasama dengan pemimpin nasionalis membentuk barisan pembela tanah air (peta),7). Umat islam mendirikan majlis syuro muslimin indonesia (masyumi)
Pada masa pemerintahan jepang sekolah dasar di jadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun, sebenarnya jepang mengadakan penyeragaman ini untuk memudahkan pengawasan, baik dalam isi maupun penyelanggaraannya. Ternyata kemudian menguntungkan bagi kita, terutama bila di lihat dari pendidikan itu sendiri, yaitu menghapuska diskriminasi. Sistem pengajaran dan struktur kurikulum di tujukan  untuk keperluan perang asia raya.


[1] Abd. Rachman Assegaf. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. (Yogyakarta: Kurnia Kalam).h.62

[2] Musyrifah Sunanto, Sejaran Peradaban Islam Indonesia, (jakarta: PT. Grafindo persada, 2005), h.124
[4] Opcit, ,h.125
[5] Ibid.h.126
[6] Ibid.h.127
[7] Rochidin wahab FZh, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Bandung : CV alfabeta,2004), h.18
[8] Azyumardi Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Munuju Milenium Baru, (Ciputat : PT. Logos Wacana Ilmu,1999)h.39

1 komentar: