LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM MASA PENJAJAHAN JEPANG
Oleh
:
ZAINAL
MUSTOPA
Nim
: 1323402047
(Disampaikan
dalam Seminar Kelas Matakuliah Sejaran Lembaga Pendidikan Islam, Program
Magister Pendidkan Islam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto
)
A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia.
Bangsa Jepang bercita-cita besar, menjadi pemimpin Asia Timur Raya. Hal ini
sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran bersama
Asia Raya. Menurut rencana tersebut Jepang menginginkan menjadi pusat suatu
lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, daratan Cina,
kepulauan Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.
Perkembangan ekonomi dan industri Jepang
memberi gambaran bahwa tampaknya perluasan daerah itu mutlak diperlukan. Oleh
karena itu rencana kemakmuran bersama Asia Raya dianggap sebagai suatu
keharusan, dan oleh kalangan militer diterima dan disambut dengan hangat karena
menjanjikan adanya prestise kepahlawanan dan dedikasi.
Dengan demikian maka kejayaan dan masa
keemasan kaum penjajah Belanda hilang lenyap sekaligus, ketika pada tanggal 8
Maret 1942 mereka bertekuk lutut tanpa syarat kepada Jepang. Dengan semboyan
Asia untuk bangsa Asia, Jepang mulai menguasai Indonesia. Yang merupakan
sasaran yang perlu dibina dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan
perang Jepang. Karena tanah air Indonesia merupakan sumber bahan-bahan mentah
dan tenaga manusia yang kaya, yang besar artinya bagi kelangsungan perang
Pasifik, dan hal ini sesuai pula dengan cita-cita politik ekspansinya.
Selanjutnya Indonesia memasuki alam baru di bawah pemerintahan Jepang.
Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan
islam di Indonesia lebih lebih lunak sehingga ruang gerak pendidikan islam
lebih bebas dari pada waktu penjajahan kolonial belanda. Terlebih lebih pada
masa permulaan, pemerintah jepang menampakan diri seakan akan membela
kepentingan islam. Untuk mendekati umat islam, mereka menempuh beberapa
kebijakan.
Mengenai pendidikan zaman jepang disebut
Hakko Ichiu, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai
kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu pelajar setiap hari terutama pada
pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang, lalu dilatih
kemiliteran. Sistem persekolahan di zaman pendudukan Jepang banyak perbedaannya
dibandingkan dengan penjajahan Belanda.[1]
Sekolah-sekolah yang ada pada zaman
Belanda diganti dengan sistem Jepang. Segala daya upaya ditujukan untuk
kepentingan perang. Murid-murid hanya mendapat pengetahuan yang sedikit sekali,
hampir sepanjang hari hanya diisi dengan kegiatan latihan atau bekerja.
2.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang di atas mengenai lembaga pendidikan islam pada zaman penjajahan jepang untuk itu kami akan
membatasi pembahasan yang akan kita kaji pada makalah kali ini adapun
pembatasan masalahnya adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana
Politik Jepang Demi Mengambil Simpati Bangsa Indonesia ?
b. Bagaimana
pendidikan pada zaman jepang ?
c.
Bagaimana modernisasi pendidikan islam pada
masa jepang ?
B. PEMBAHASAN
a.
Politik Jepang Demi Mengambil Simpati Bangsa Indonesia
Jepang menjajah indonesia setelah
mengalahkan belanda dalam perang dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan asia
timur raya atu asia untuk asia.[2] Sudah sejak awal abad ini Jepang menjadi imperialistis
karena berbagai faktor, antara lain karena Jepang dihadapkan kepada persoalan
kepadatan penduduk. Sesudah PD I minat terhadap Indonesia bangkit. Alasan idiil
bangkitnya minat itu adalah ajaran Shintoisme tentang Hakko- ichiu yaitu ajaran
tentang kesatuan keluarga umat manusia. Khususnya yang menyangkut bangsa
Indonesia, ajaran Hakko-ichiu diperkuat oleh keterangan
Jepang sekitar 1930 yang menyatakan bahwa bangsa Jepang
dan Indonesia itu serumpun, maka beralasan jika Jepang mengaku sebagai saudara
tua, kecuali alasan tersebut masih ada lagi alasan riil yaitu alasan ekonomis.
Usaha Jepang
menarik simpati dalam bidang ekonomi yaitu Jepang memberi komisi yang baik
kepada pedagang-pedagang pribumi yang bersedia menjual barang-barang Jepang.
Cara lain untuk menarik simpati adalah lewat pendidikan,pelajar-pelajar
Indonesia diundang untuk belajar di Jepang dengan mendapat beasiswa. Jepang
juga berusaha menarik simpati umat Islam Indonesia, orang islam Jepang dikirim
ke Mekkah menunuaikan ibadah haji, di Tokyo didirikan masjid, dan kemudian
suatu konferensi agama islam diselenggarakan di Tokyo.[3]
Meski zaman pendudukan Jepang di bumi
nusantara sangatlah singkat, tetapi pengaruhnya bagi perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia sangatlah besar. Tujuan pendidikan pada masa itu telah
disisipi misi Nipponisasi dan juga upaya-upaya pemberdayaan bangsa Indonesia
untuk membantu kepentingan perang Jepang. Misi tersebut dilakukan dengan
mendekati tokoh-tokoh kiai yang menjadi panutan umat Islam agar dapat dijadikan
sandaran politik mereka. Pertemuan antara 32 ulama dengan Gunseikan pada 7
Desember 1942 berisi tukar pendapat mengenai ke-Islam-an dan komitmen Jepang
untuk melindungi adat dan agama Islam, tidak mencampuri lembaga keagamaan
bahkan diperkenankan secara resmi untuk meneruskan pekerjaannya, serta memberi
kedudukan yang baik pada mereka yang telah mendapatkan pendidikan agama tanpa
membeda-bedakannya dengan golongan lain (Assegaf, 2005). Intinya, misi
Nipponisasi tersebut dianggap akan tertanam lebih mudah pada rakyat kecil bila
mereka sudah terebut hatinya dengan perlakuan istimewa Jepang terhadap
mayoritas rakyat yang beragama Islam. Efek samping yang tidak disadari oleh
Jepang karena kebijakan tersebut adalah perkembangan lembaga pendidikan
ke-Islam-an non formal seperti pesantren dan yang formal seperti madrasah,
menjadi begitu pesat.
Demi melancarkan usaha Nipponisasi-nya,
Jepang juga melakukannya lewat kebijakan pelarangan penggunaan bahasa Eropa
(Inggris dan Belanda) dalam komunikasi lisan dan tulisan, dan hanya
memperbolehkan komunikasi dalam bahasa Indonesia dan Jepang. Pengaruh tersebut
sangat terasa dalam dunia pendidikan karena semasa pendudukan Belanda, bahasa
pengantar yang dipergunakan di sekolah-sekolah adalah bahasa Belanda. Sehingga
pada masa itu, Jepang membentuk juru bahasa sebagai penerjemah ketika guru
sedang mengajar, mempopulerkan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda
dengan membuka sekolah bahasa Jepang, mengadakan perlombaan bahasa Jepang,
memasukkan bahasa Jepang dalam ujian calon guru dan ujian akhir murid. Selain
itu, Jepang juga mengganti seluruh istilah yang digunakan baik dalam dunia
pendidikan, persuratkabaran, hingga nama lembaga pemerintah maupun non
pemerintah dengan bahasa Jepang. Propaganda tersebut juga dilakukan melalui
radio dan dunia hiburan seperti film layar lebar, drama, wayang kulit, tari-tarian
dan nyanyian. Selain itu, Jepang juga membentuk panitia penyempurnaan bahasa
Indonesia, yang mana imbasnya sangatlah menguntungkan bagi perkembangan bahasa
Indonesia.
Demi kepentingan perangnya, Jepang
melakukan banyak upaya untuk memberdayakan bangsa Indonesia, misalnya melalui
indoktrinasi dengan pengasramaan kiai dan santri-santri untuk dibekali
kemampuan bela diri dan kemiliteran untuk membantu Jepang. Malah tanpa disadari
Jepang, kebijakan tersebut malah menumbuhkan semangat nasionalisme dan keinginan
untuk merdeka yang meluap-luap pada pemuda kalangan pesantren tersebut
(Assegaf, 2005). Di lain tempat, pekarangan sekolah-sekolah ditanami
umbi-umbian dan sayur-sayuran untuk tambahan bahan makanan, serta pohon jarak
untuk menambah minyak demi kepentingan perang Jepang, tentunya semua hal
tersebut dilakukan oleh para pelajar (Said dan Affan, 1987). Selain itu, mereka
juga disuruh untuk bergotong royong mengumpulkan batu, kerikil, dan pasir untuk
kepentingan pertahanan. Para pelajar juga dibekali dengan berbagai macam
ketangkasan dalam perang untuk mempertahankan diri. Ditambahkan pula dengan
kewajiban untuk senam pagi untuk menguatkan fisik pelajar dalam membantu
Jepang. Indoktrinasi dilakukan melalui lagu senam yang berbahasa Jepang,
menyanyikan lagu kebangsaan Jepang sebelum masuk kelas, melakukan penghormatan
kepada Kaisar Jepang, mengucapkan sumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam
rangka mewujudkan Asia Raya, dan seterusnya.
Diskriminasi dan diferensiasi pendidikan
yang diberlakukan pada zaman Belanda dengan menggolongkan sekolah menurut
golongan bangsa dan status sosial dihapuskan oleh Jepang. Sehingga hanya
berlaku satu macam sekolah tiap tingkatnya untuk segala kalangan dan bangsa
Indonesia pun bebas untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut. Meskipun kebijakan
tersebut diambil oleh Jepang dengan tujuan untuk memudahkan proses pengawasan
dan manajerial administratif saja, tetapi dampak penghapusan diskriminasi dan
diferensiasi tersebut begitu besar bagi dunia pendidikan pada masa itu. Tentunya
selain dampak positif, dampak negatifnya adalah penurunan drastis jumlah
sekolah, guru, dan murid secara kuantitatif. Hal itu sangat jelas terasa karena
banyak sekolah yang ditutup karena penyederhanaan sistem persekolahan tersebut
dan guru-guru sekolah banyak yang terserap di bidang profesi lainnya seperti
menjadi pegawai pemerintah dan tentara militer.
Kebijakan di bidang pendidikan yang
dikeluarkan oleh Jepang memang banyak yang terlihat seolah-olah ingin
meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia (mulai dari pemberlakuan sekolah
gratis, pemberian tambahan insentif guru, hingga penyederhanaan sistem
persekolahan), tetapi pada kenyataannya kebijakan tersebut sarat dengan muatan
politis yang membawa misi Nipponisasi dan pemberdayaan bangsa Indonesia untuk
perburuhan dan mobilisasi militer.
b.
Pendidikan
Pada Zaman Jepang
Pada masa awal pemerintatahanjepang
seakan-akan membela kepantingan islam sebagai siasat untuk memenangkan perang.
Untuk menarik dukungan rakyat indonesia, pemerintah jepang membolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan
pesantren yang terbebas dari pengawasan
jepang. Jepang menempuh kebijakan sebagai berikut :
1) Kantor
usrussan agama yang pada jaman belanda di sebut kantor voor Islamistische saken yang dipimpin oleh orientalis belanda di ubah
menjadi sumubu yang dipimpin ulama
islam sendiri, yaitu kh hasyim asyari dari jombang dan di daerah-daerah di
sebut sumuka.
2) Pondok
pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar jepang.
3) Sekolah-sekolah
negeri di beri pelajaran budi pekerti atau agama
4) Membentukbarisan
hizbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran pemuda islam (santri-santri)
di pimpin oleh kh zainul arifin
5) Jepang
mengijinkan berdirinya sekolah tinggi islam di pimpin oleh kh wahid hasyim,
kahar muzakkir, dan bung hatta
6) Ulama
islam bekerjasama dengan pemimpin nasionalis membentuk barisan pembela tanah
air (peta)
7) Umat
islam mendirikan majlis syuro muslimin indonesia (masyumi).[4]
Maksud dari pemerintahan jepang adalah
agar kekuatan umat isalam dan nasionalis bisa di arahkan untuk kepentingan
memenangkan perang yang di pimpin jepang, Zaman jepang sebenarnya
memperlihatkan gambaran buruk mengenai pendidikan bila di bandingkan masa-masa
akhir pemerintahan hidia belanda. Jumlah sekolah dasar menurun dari 21.500
menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20, perguruan tinggi terdiri
empat buah dan belum dapat melakuka kegiatan. Jumlah murid merosot 30% sekoalh
menengah merosot 90%, guru-guru sd berkurang 35%, guru sekolah menengah tinggal
5%, angka buta huruf tinggi sekali.
Pada masa pemerintahan jepang sekolah
dasar di jadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun, sebenarnya jepang
mengadakan penyeragaman ini untuk memudahkan pengawasan, baik dalam isi maupun
penyelanggaraannya. Ternyata kemudian menguntungkan bagi kita, terutama bila di
lihat dari pendidikan itu sendiri, yaitu menghapuska diskriminasi. Sistem
pengajaran dan struktur kurikulum di tujukan
untuk keperluan perang asia raya.
Selain itu jepang mengadakan latihan
bagi guru-guru di jakarta untuk mengindoktrinasi mereka dalam hakki Iciu (kemakmuran bersama). Para
peserta latihan di ambil dari tiap-tiap daerah kabupaten. Sesudah selesai latihan mereka harus kembali ke
daerah masing-masing, mengadakan latihan untuk meneruskan hasil yang mereka
peroleh. Dengan demikian susunan sekolah menjadi dua bagian, yaitu :
1).
Sekolah umum terdiri dari
1. sekolah
rakyat enam tahun
2. sekolah
menengah tiga tahun.
3. sekolah menengah tinggi tiga tahun
2).
Sekolah guru terdiri dari :
1. Sekolah
guru dua tahun
2. Sekolah
guru empat tahun
3. Sekolah
guru enam tahun.[5]
bahasa indonesia sebagai bahasa
pengantar di gunakan di semua sekolah dan menjadi mata pelajaran utama. Bahasa
jepang di berikan sebagai mata pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari
adat istiadat jepang. Bahasa daerah di berikan kepada murid kelas 1 dan 2
sampai murid tersebut dapat mengerti bahasa indonesia. Murid di haruskan
melakukan kinrohosyi (kerja bakti)
seperti mengumpulkan bahan-bahan untuk perang, menanam bahan makanan,
membersihkan asrama, memperbaiki jalan dan lain-lain. Selain itu di adakan
latihan jasmani (taiso) dan latihan
militer. Murid-murid di gembleng agar memiliki semangat jepang, harus
menyanyikan lagu kebangsaan jepang kimigayo
serta melakukan pengormatan kearah istana kaisar di tokyo dan bendera
jepang, untuk guru-guru di samping latihan kursus-kursus bahasa jepang, dengan
demikian sekolah-sekolah menjadi tempat pendidikan yang miteris dan tempat
indoktrinasi untuk kemakmuran asia timur raya, semuanya di tujukan untuk
memenangkan perang melawan sekutu.
Sekolah yang didirikan zaman belanda di
buka lagi, juga sekolah-sekolah swasta seperti sekolah Agama Islam (madrasan
atau pesantren) , taman siswa, sekolah muhammadiyah, termasuk sekolah-sekolah
yang di asuh oleh badan-badan misi atau zending kristen, tetapi harus di
selenggarakan langsung oleh pemerintah jepang, selain itu jepang juga memberi
kesempatan bagi golongan cina untuk membuka sekolah lagi sebagaimana zaman
belanda tetapi harus di bawah pengawasan jepang.[6]
Guru-guru yang dilatih dan diindoktrinasi
dimulai bulan juni 1942 di jakarta, mata pelajaran meliputi pendidikan
semanngat, bahasa, adat istiadat, lagu-lagu jepang, olah raga pendidikan
tentang dasar-dasar pertahanan, dan sebagainya, apabila telah selesai pulangan
kedaerahnya masing-masing untu melatih guru-guru yang lain, sehingga menjadi
alat propaganda jepang. Kedudukan golongan pendidik pada masa jepang mendapat
tempat yang baik dalam lingkungan masyarakat.
Semua perguruan tinngi masa pemerintahan
jepang di tutup, walaupun kemudian ada beberapa yang di buka seperti perguruan
tunggi kedokteran (ika daigaku) di jakarta tahun 1943, perguruan tinggi teknik
di bandung, perguruan tinggi pamongpraja di jakarta, perguruan tinggi
kedokteran hewan di bogor, semuanya tetap di bawah pengawasan jepang.Baru pada
tanggal 27 rajab 1364 atau 8 juli 1945 berdirilah sekolah tinggi islam di
jakarta situasi ini menjadi mungkin setelah umat islam melancarkan perlawanan
pesantren suka manah (25 februari 1944) yrng kemudian di susul oleh perlawanan
peta belitar.[7]
Demikianlah sekolah-sekolah pada zaman
militer jepang umumnya mengalami kemunduran, namun masalah yang paling penting
pada sekolah-sekolah itu (1942-1945) adalah nasionalisasi, baha pengantar,
serta pembentukan kader-kader muda untuk tugas berat dimasa mendatang.
c.
Modernisasi
Pendidikan Islam
Gagasan modernisasi Islam di
realisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan modern yang di
adopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda pemerkasa pertama dalam hal ini
adalah organisasi-organisasi modern islam seperti Jamiat Khair, Al-irsyad,
muhammadiyah dan lain-lain, pada awal perkembangan adopsi gagasan modern
pendidikan islam ini setidaknya terdapat dua kecendrungan pokok eksperimentasi
organisasi-organisasi islam di atas pertama adalah adopsi sistem dan lembaga
pendidikan modern hampir secara menyeluruh, titik tolak modernisasi pendidikan
islam disini adalah sistema dan kelembagaan pendidikan modern, bukan sistem dan
lembaga pendidikan tradisional.
Eksperimen ini terlihat jelas di lakukan
oleh Abdullah Ahmad dengan mendirikannya Madrasah Adabiyah, yang kemudian di
ubah menjadi sekolah Adabiyah (1915) hanya terdapat sedikit ciri atau unsur
dalam kurikulum sekolah (HIS) Adabiyah yang membedakannya dengan sekolah
belanda selain mengadopsi seluruh kurikulum His Belanda, sekolah adabiyah
menambahkan pelajaran Agama dua jam sepekan.
Selaras dengan itu muhammadiyah
mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan belanda secara cukup konsisten dan
menyeluruh misalnya dengan mendirikan sekolah-sekolah ala belanda, seperti
Mulo, His dan lain-lain, sementara itu sekolah-sekolah Muhammadiyah membedakan
diri dengan sekolah-sekolah Belanda hanya dengan memasukkan pendidikan Agama
(persisnya dalam istilah Muhammadiyh itu sendiri, met de qur’an) kedalam
kurikulumnya. Karena itu sebenarnya dapat disebut sebagai sekolah Umum Plus,
Muhammadiyah juga bereksperimen dengan sistem dan kelembagaan madrasah modern
dengen mendirikan Madrasan Muallimin dan Madrasah Muallimat, tetapi sama dengan
sistem kelembagaan sekolah-sekolahnya.
Apakah surau atau pesantren sebagai
basisinya, pada piahak lain terdapat eksperimen yang bertitik tolak justru dari
sistem dan kelembagaan islam itu sendiri, sistem pendidikan madrasah atau surau
pondok pesantren yang memang secara tradisional merupakan kelembagaan
pendidikan Islam (indigenous), di modernisasi misalnya dengan mengadopsi
aspek-aspek tertentu dari sistem pendidikan modern khusunya dalam kandungan
kuriulum, teknik dan metode pengajaran, eksperimen ini pertama kali di lakukan
pesantren Manba’ul ulum, serakarta pada tahun 1906 pesantren ini meiliki basis pada pendidikan
dan pengajaran ilmu-ilmu tradisisonal islam, seperti Al-qur’an, Hadits, Fiqh,
Bahasa Arab, dan lain-lain juga terdapat mata pelajaran Mantiq, Al-jabar, dan
Ilmu Falak, selain itu pesantren Manba’ul Ulum juga memasukkan beberapa mata
pelajaran modern kedalam kurikulumnya seperti membaca (huruf latin) dan
berhitung.
Eksperimen ini lebih terkenal dilakukan
H..Abdul Karim Amrullah yang pada tahun 1916 menjadi surau jembatan besi lembaga
pendidikan tradisional Islam Minang kabau sebagai basis untuk pengembangan
madrasah modern yang kemudian lebih di kenal sebagai Sumatra Thawalib,
berbarengan dengan itu Zainuddin labay el yunasi mengembangkan madrasah
diniyah, yang pada awal perkembangannya merupakan madrasah sore untuk
memberikan pelajaran Agama pada murid-murid sekolah, kemudian di susul pada
tahun 1926 di pulau jawa membentuk pondok pesantren modern gontor ponorogo, perlunya modernisasi
sistem dan kelambagaan pendidikan Islam indigenous hal ini memiliki makna
filosofis yang mendalam bahwa pesantren lebih berakar kuat dan mendalam oleh
sebab itu lebih acceptable bagi banyak kaum muslimin
Kedua bentuk eksperimen ini pada
dasarnya terus berlanjut hingga dewasa ini, dengan ini kita melihat dua arus
utama : pertama. Sistem dan kelembagaan pendidikan islam , yang merupakan
pendidikan umum dengan penekanan seadanya pada aspek-aspek pengajaran islam.
Termasuk dalam kategori ini dalah madrasah pasca-UUSPN 1989, yang secara
eksplisit menyatakan bahwa madrasah-madrasah adalah sekolah umum yang berciri
keagamaan. Kedua, sistem dan kelembagaan pesantren yang dalam banyak hal telah
di modernisasi dan di sesuaikan dengan tuntutan pembangunan, modrnisai
pembangunan menemukan momennya akhir taun 1970an.[8]
C.
PENUTUP
a.
Kesiimpulan
Jepang menempuh kebijakan sebagai
berikut :1).Kantor usrussan agama yang pada jaman belanda di sebut kantor voor Islamistische saken yang dipimpin
oleh orientalis belanda di ubah menjadi
sumubu yang dipimpin ulama islam sendiri, yaitu kh hasyim asyari dari
jombang dan di daerah-daerah di sebut sumuka.2).
Pondok pesantren yang besar-besar mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar
jepang. 3). Sekolah-sekolah negeri di beri pelajaran budi pekerti atau agama
4). Membentukbarisan hizbullah yang memberi latihan dasar kemiliteran pemuda
islam (santri-santri) di pimpin oleh kh zainul arifin 5). Jepang mengijinkan
berdirinya sekolah tinggi islam di pimpin oleh kh wahid hasyim, kahar muzakkir,
dan bung hatta,6). Ulama islam bekerjasama dengan pemimpin nasionalis membentuk
barisan pembela tanah air (peta),7). Umat islam mendirikan majlis syuro
muslimin indonesia (masyumi)
Pada masa pemerintahan jepang sekolah
dasar di jadikan satu macam yaitu sekolah dasar enam tahun, sebenarnya jepang
mengadakan penyeragaman ini untuk memudahkan pengawasan, baik dalam isi maupun
penyelanggaraannya. Ternyata kemudian menguntungkan bagi kita, terutama bila di
lihat dari pendidikan itu sendiri, yaitu menghapuska diskriminasi. Sistem
pengajaran dan struktur kurikulum di tujukan
untuk keperluan perang asia raya.
[1] Abd.
Rachman Assegaf.
Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari
Praproklamasi ke Reformasi. (Yogyakarta:
Kurnia Kalam).h.62
[2]
Musyrifah Sunanto, Sejaran Peradaban
Islam Indonesia, (jakarta: PT. Grafindo persada, 2005), h.124
[3] http://wongcungkup.blogspot.com/2013/09/makalah-sejarah-pendidikan-islam-pada.html,
di akses pada tanggal 12 januari 2014
[4] Opcit, ,h.125
[5] Ibid.h.126
[6] Ibid.h.127
[7] Rochidin
wahab FZh, Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia, (Bandung : CV alfabeta,2004), h.18
[8] Azyumardi
Azra,Pendidikan Islam Tradisi dan
Modernisasi Munuju Milenium Baru, (Ciputat : PT. Logos Wacana
Ilmu,1999)h.39
nice share gan, bagus infonya
BalasHapuspusat grosir souvenir kediri